PENGARUH GLOBALISASI TERHADAP PENDIDIKAN INDONESIA
BAB 1
PENDAHULUAN
LATAR
BELAKANG
Isu-isu yang berkaitan
dengan pendidikan nasional dan globalisasi mendorong kita untuk melakukan
identifikasi dan mencari titik-titik simetris sehingga bisa mempertemukan dua
hal yang tampaknya paradoksial, yaitu pendidikan Indonesia yang berimplikasi
nasional dan global. Dampak globalisasi memaksa banyak negara meninjau kembali
wawasan dan pemahaman mereka terhadap konsep bangsa, tidak saja karena faktor
batas-batas territorial geografis, tetapi juga aspek ketahanan kultural serta
pilar-pilar utama lainnya yang menopang eksistensi mereka sebagai nation state
yang tidak memiliki imunitas absolut terhadap intrusi globalisasi. Globalisasi
bisa dianggap sebagai penyebaran dan intensifikasi dari hubungan ekonomi,
sosial, dan kultural yang menembus sekat-sekat geografis ruang dan waktu.
Dengan demikian, globalisasi hampir melingkupi semua hal; ia berkaitan dengan
ekonomi, politik, kemajuan teknologi, informasi, komunikasi, transportasi, dll.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang disertai
dengan semakin kencangnya arus globalisasi dunia membawa dampak tersendiri bagi
dunia pendidikan. Banyak sekolah di indonesia dalam beberapa tahun belakangan
ini mulai melakukan globalisasi dalam sistem pendidikan internal sekolah. Hal
ini terlihat pada sekolah – sekolah yang dikenal dengan billingual school, dengan diterapkannya bahasa asing seperti bahasa
Inggris dan bahasa Mandarin sebagai mata ajar wajib sekolah. Selain itu
berbagai jenjang pendidikan mulai dari sekolah menengah hingga perguruan tinggi
baik negeri maupun swasta yang membuka program kelas internasional. Globalisasi
pendidikan dilakukan untuk menjawab kebutuhan pasar akan tenaga kerja
berkualitas yang semakin ketat. Dengan globalisasi pendidikan diharapkan tenaga
kerja Indonesia dapat bersaing di pasar dunia. Apalagi dengan akan
diterapkannya perdagangan bebas, misalnya dalam lingkup negara-negara ASEAN,
mau tidak mau dunia pendidikan di Indonesia harus menghasilkan lulusan yang
siap kerja agar tidak menjadi “budak” di negeri sendiri.
` Persaingan untuk
menciptakan negara yang kuat terutama di bidang ekonomi, sehingga dapat masuk
dalam jajaran raksasa ekonomi dunia tentu saja sangat membutuhkan kombinasi
antara kemampuan otak yang mumpuni disertai dengan keterampilan daya cipta yang
tinggi. Salah satu kuncinya adalah globalisasi pendidikan yang dipadukan dengan
kekayaan budaya bangsa Indonesia. Selain itu hendaknya peningkatan kualitas
pendidikan hendaknya selaras dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Tidak
dapat kita pungkiri bahwa masih banyak masyarakat Indonesia yang berada di
bawah garis kemiskinan. Dalam hal ini, untuk dapat menikmati pendidikan dengan
kualitas yang baik tadi tentu saja memerlukan biaya yang cukup besar. Tentu
saja hal ini menjadi salah satu penyebab globalisasi pendidikan belum dirasakan
oleh semua kalangan masyarakat. Sebagai contoh untuk dapat menikmati program
kelas Internasional di perguruan tinggi terkemuka di tanah air diperlukan dana
lebih dari 50 juta. Alhasil hal tersebut hanya dapat dinikmati golongan kelas
atas yang mapan. Dengan kata lain yang maju semakin maju, dan golongan yang
terpinggirkan akan semakin terpinggirkan dan tenggelam dalam arus globalisasi
yang semakin kencang yang dapat menyeret mereka dalam jurang kemiskinan.
Masyarakat kelas atas menyekolahkan anaknya di sekolah – sekolah mewah di saat
masyarakat golongan ekonomi lemah harus bersusah payah bahkan untuk sekedar
menyekolahkan anak mereka di sekolah biasa. Ketimpangan ini dapat memicu
kecemburuan yang berpotensi menjadi konflik sosial. Peningkatan kualitas pendidikan yang
sudah tercapai akan sia-sia jika gejolak sosial dalam masyarakat akibat
ketimpangan karena kemiskinan dan ketidakadilan tidak diredam dari sekarang.
B. Perumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang masalah tersebut, maka dapat dirumuskan masalah-masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini. Perumusan masalah tersebut :
1.
Bagaimana
memahami globalisasi dan dampak globalisasi terhadap dunia pendidikan?
2.
Siapkah
dunia pendidikan Indonesia menghadapi globalisasi?
3.
Apa
kondisi dan kendala kontemporer dunia pendidikan Indonesia?
4.
Penyebab buruknya pendidikan
di era globalisasi?
5.
Cara penyesuain pendidikan di
Indonesia pada era globalisasi?
C. Tujuan Penulisan
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka dapat dipaparkan mengenai tujuan penulisan makalah ini adalah :
1.
Bagi Penulis
Makalah ini disusun untuk memenuhi
tugas yang diberikan dosen dalam mata kuliah perspektif global. Selain itu,
bagi diri kami pribadi makalah ini juga diharapkan bisa digunakan untuk
menambah pengetahuan yang lebih bagi mahasiswa.
2.
Bagi Pembaca
Makalah ini dimaksudkan untuk
membahas dampak globalisasi terhadap dunia pendidikan dan menambah ilmu
pengetahuan mengenai globalisasi. Para pembaca yang dominan dari kaula
mahasiswa bisa digunakan untuk langkah menuju ke pengetahuan yang lebih luas, untuk memahami globalisasi dan dampak
globalisasi terhadap dunia pendidikan, untuk mengetahui siapkah dunia
pendidikan Indonesia menghadapi globalisasi, untuk mengetahui kondisi dan
kendala kontemporer dunia pendidikan Indonesia, sehingga kedepannya
tercipta sdm-sdm yang unggul.
3.
Bagi Masyarakat
Diharapkan masyarakat bisa lebih
memahami tentang arti penting globalisasi sehingga dampak negatif yang berimbas
bisa leih diperkecil. Dan juga diharapkan agar realisasi kegiatan positif
terhadap adanya pendidikan semakin lebih baik.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Globalisasi
Kata
"globalisasi" diambil dari kata global, yang maknanya ialah
universal. Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekadar
definisi kerja (working definition), sehingga tergantung dari sisi mana orang
melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses
sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di
dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau
kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan
budaya masyarakat. Mitos yang hidup selama ini tentang globalisasi adalah bahwa
proses globalisasi akan membuat dunia seragam. Proses globalisasi akan
menghapus identitas dan jati diri. Kebudayaan lokal atau etnis akan ditelan
oleh kekuatan budaya besar atau kekuatan budaya global.
Anggapan
atau jalan pikiran di atas tersebut tidak sepenuhnya benar. Kemajuan teknologi
komunikasi memang telah membuat batas-batas dan jarak menjadi hilang dan tak
berguna. John Naisbitt (1988), dalam bukunya yang berjudul Global Paradox ini memperlihatkan
hal yang justru bersifat paradoks dari fenomena globalisasi. Naisbitt (1988)
mengemukakan pokok-pokok pikiran lain yang paradoks, yaitu semakin kita menjadi
universal, tindakan kita semakin kesukuan, dan berpikir lokal, bertindak
global. Hal ini dimaksudkan kita harus mengkonsentrasikan kepada hal-hal yang
bersifat etnis, yang hanya dimiliki oleh kelompok atau masyarakat itu sendiri
sebagai modal pengembangan ke dunia Internasional.
Di
sisi lain, ada yang melihat globalisasi sebagai sebuah proyek yang diusung oleh
negara-negara adikuasa, sehingga bisa saja orang memiliki pandangan negatif
atau curiga terhadapnya. Dari sudut pandang ini, globalisasi tidak lain adalah
kapitalisme dalam bentuknya yang paling mutakhir. Negara-negara yang kuat dan kaya
praktis akan mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara kecil makin tidak
berdaya karena tidak mampu bersaing. Sebab, globalisasi cenderung berpengaruh
besar terhadap perekonomian dunia, bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang
lain seperti budaya dan agama.
Globalisasi
adalah sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan
ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia dunia melalui
perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi
yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi bias.
Dalam
banyak hal, globalisasi mempunyai banyak karakteristik yang sama dengan
internasionalisasi sehingga kedua istilah ini sering dipertukarkan. Sebagian
pihak sering menggunakan istilah globalisasi yang dikaitkan dengan berkurangnya
peran negara atau batas-batas negara.
B. Globalisasi dan Pendidikan
Banyak
orang yang mempertanyakan tentang kontradiksi antara pendidikan, globalisasi
dan keuntungan. Tak jarang banyak orang beragumentasi bahwa dunia pendidikan
adalah untuk anak-anak dan bukan untuk menjadi lahan meraih keuntungan.
Pertanyaan yang lebih ektrim adalah, apakah dalam situasi globalisasi masihkan
dunia pendidikan tersedia dan menguntungkan kelompok miskin. Kian mahalnya
ongkos mengenyam bangku sekolah membuat hanya segelintir anak-anak yang mampu
mengenyamnya.
James
Tooley, PhD mengatakan bahwa pilihan, kompetisi, dan kewiraswastaan yang
bergerak di pasar pendidikan di seluruh dunia telah menumbuhkan kerangka
pendidikan yang terbaik, bahkan bagi kaum miskin(2005). Ia memberikan contoh
program pendidikan yang dijalankan oleh Oxfam di Lahore, Pakistan, yang mampu
menunjukkan bahwa anggapan bahwa sekolah-sekolah swasta melayani kebutuhan
sejumlah kecil orang kaya adalah suatu asumsi yang keliru. Persaingan yang
terjadi antar sekolah-sekolah swasta tersebut bukan hanya ditataran biaya
semata namun juga pada kurikulum sekolah. Sekolah-sekolah swasta tersebut
bahkan telah menjangkau wilayah-wilayah kumuh yang semula enggan didatangi oleh
sekolah pemerintah, seperti apa yang terjadi di India. Hanya saja, pemerintah
acapkali tidak mengakui keberadaan sekolah-sekolah swasta ini.
Dalam
perkembangannya bahkan banyak orang tua murid yang lebih senang menyekolahkan
anaknya ke sekolah swasta dari pada sekolah pemerintah, meskipun dengan biaya
gratis. Seperti yang acapkali ditemukan di India, banyak sekolah-sekolah negeri
telah kehilangan kualitas yang signifikan. Bukan saja fasilitas fisik sekolah
yang menyedihkan namun juga kualitas mengajar guru yang sangat memprihatinkan.
Fenomena seperti ini dapat dibayangkan, jika mengingat besaran subsidi dan
kemampuan pemerintah untuk bertahan memberikan subsidi pembangunan kepada
sekolah-sekolah negeri.
BAB III
PEMBAHASAN
I. Memahami Globalisasi dan Dampak Globalisasi terhadap Dunia Pendidikan
Tiap
negara memiliki strategi dalam menghadapi globalisasi sehingga dampak integrasi
dan globalisasi beragam. Posisi sebuah negara bisa diketahui dalam indeks
globalisasi yang diukur dengan beberapa indikator, seperti konektivitas global,
integrasi, dan ketergantungan pada ruang ekonomi, sosial, dan ekologi.
Ada
lima kategori pengertian globalisasi yang umum ditemukan dalam literatur.Kelima
kategori definisi tersebut berkaitan satu sama lain dan kadangkala saling tumpang-tindih,
namun masing-masing mengandung unsur yang khas.
1. Globalisasi sebagai internasionalisasi
Dengan pemahaman ini, globalisasi dipandang
sekedar ‘sebuah kata sifat (adjective) untuk menggambarkan hubungan antar-batas
dari berbagai negara.
2. Globalisasi sebagai
liberalisasi
Dalam pengertian ini, ‘globalisasi’ merujuk pada
sebuah proses penghapusan hambatan-hambatan yang dibuat oleh pemerintah
terhadap mobilitas antar negara untuk menciptakan sebuah ekonomi dunia yang
‘terbuka’ dan ‘tanpa-batas.’
3. Globalisasi sebagai
universalisasi
Dalam konsep ini, kata ‘global’ digunakan
dengan pemahaman bahwa proses ‘mendunia’ dan ‘globalisasi’ merupakan proses
penyebaran berbagai obyek dan pengalaman kepada semua orang ke seluruh penjuru
dunia. Contoh klasik dari konsep ini adalah penyebaran teknologi komputer,
televisi, internet, dll.
4. Globalisasi sebagai
westernisasi atau modernisasi
(lebih dalam bentuk yang Americanised)
‘Globalisasi’ dalam konteks ini dipahami sebagai sebuah dinamika, di mana
struktur-struktur sosial modernitas (kapitalisme, rasionalisme, industrialisme,
birokratisme, dsb.) disebarkan ke seluruh penjuru dunia, yang dalam prosesnya
cenderung merusak budaya setempat yang telah mapan serta merampas hak
self-determination rakyat setempat.
5. Globalisasi sebagai
penghapusan batas-batas teritorial
(atau sebagai persebaran
supra-teritorialitas) ‘Globalisasi’ mendorong ‘rekonfigurasi geografis,
sehingga ruang-sosial tidak lagi semata dipetakan dengan kawasan teritorial,
jarak teritorial, dan batas-batas teritorial.’ A. Giddens (1990) mendefinisikan
globalisasi sebagai ‘intensifikasi hubungan sosial global yang menghubungkan
komunitas lokal sedemikian rupa sehingga peristiwa yang terjadi di kawasan yang
jauh dipengaruhi oleh peristiwa yang terjadi di suatu tempat yang jauh pula,
dan sebaliknya.’
Dalam
dunia pendidikan, globalisasi membawa banyak dampak dan efek. Dampak
globalisasi terhadap dunia pendidikan paling tidak terlihat dalam 3 perubahan
mendasar dalam dunia pendidikan.Pertama, dalam perspektif neo-liberalisme,
globalisasi menjadikan pendidikan sebagai komoditas dan komersil. Paradigma
dalam dunia komersial adalah usaha mencari pasar baru dan memperluas
bentuk-bentuk usaha secara kontinyu.Tuntutan pasar ini mendorong perubahan
dalam dunia pendidikan. Perubahan tersebut bisa dalam bentuk penyesuaian
program studi, kurikulum, manajemen, dll. Komersialisasi pendidikan juga memacu
privatisasi lembaga-lembaga pendidikan.Kedua, globalisasi mempengaruhi kontrol
pendidikan oleh negara. Sepintas terlihat bahwa pemerintah masih mengontrol
sistem pendidikan di suatu negara dengan cara intervensi langsung berupa
pembuatan kebijakan dan payung legalitas. Tetapi tuntutan untuk berkompetisi
dan tekanan institusi global seperti IMF dan World Bank yang membuat dunia
politik dan pembuat kebijakan cenderung market-driven.Ketiga, globalisasi
mendorong delokalisasi dan perubahan teknologi dan orientasi pendidikan.
Pemanfaataan teknologi baru seperti komputer dan internet telah membawa
perubahan yang sangat revolusioner dalam dunia pendidikan yang tradisional.
Disamping membantu akselerasi arus pertukaran informasi, teknologi tersebut
telah ikut mendorong berjamurnya system pendidikan jarak-jauh. Di sini terlihat
fenomena delokalisasi, di mana orang-orang belajar dalam suasana yang sangat
individual dan menghalanginya untuk berinteraksi dengan tetangga atau
orang-orang di sekitarnya.
Meskipun
dipandang dari sudut yang berbeda, kita bisa membuat sebuah generalisasi bahwa
kata kunci dari globalisasi adalah: kompetisi. Kalau sudah menyangkut
kompetisi, maka kita mesti memperhatikan salah satu faktor penentu dalam
kompetisi yaitu ketangguhan sumber daya manusia (SDM) yang merupakan output
dari pendidikan. Oleh karena itu, relevansi antara pendidikan nasional dengan
globalisasi tidak saja dalam aspek dampak tetapi juga dalam segi tantangan.
Artinya, globalisasi adalah sebagai sebuah proses yang tidak bisa diputar
mundur dan terus bergulir yang menantang dunia pendidikan kita.
II. Siapkah Dunia Pendidikan Indonesia Menghadapi
Globalisasi?
Sebelum
kita menjawab apakah dunia pendidikan kita siap menghadapi globalisasi, kita
perlu bertanya apakah Indonesia sudah siap menghadapi globalisasi. Dalam summit
APEC di Bogor tahun 1994, Indonesia dengan berani menerima jadwal AFTA 2003 dan
APEC 2010 dengan menyatakan: “Siap tidak siap, suka tidak suka, kita harus ikut
globalisasi karena sudah berada di dalamnya”.
Banyak
pengamat menilai bahwa pada waktu itu Indonesia menyatakan ‘siap’
dalam globalisasi kurang didasarkan pada asumsi yang realistis. Dalam menilai kesiapan dunia pendidikan Indonesia menghadapi globalisasi ada baiknya kita mengukur posisi Indonesia dengan indikator-indikator—terlepas dari metodologi yang dipakai oleh pembuat survei—yang dianggap cukup relevan, yaitu: tingkat kompetisi Indonesia di dunia global (global competitiveness), indeks persepsi korupsi (corruption perception index), dan indeks pengembangan SDM (human development index).
dalam globalisasi kurang didasarkan pada asumsi yang realistis. Dalam menilai kesiapan dunia pendidikan Indonesia menghadapi globalisasi ada baiknya kita mengukur posisi Indonesia dengan indikator-indikator—terlepas dari metodologi yang dipakai oleh pembuat survei—yang dianggap cukup relevan, yaitu: tingkat kompetisi Indonesia di dunia global (global competitiveness), indeks persepsi korupsi (corruption perception index), dan indeks pengembangan SDM (human development index).
Menurut
indikator pertama, dalam tingkat kompetisi global tahun 2002, Indonesia berada
pada posisi ke-72 dari 115 negara yang disurvei. Indonesia berada di bawah
India yang menempati posisi ke-56, Vietnam pada posisi ke-60, dan Filipina pada
posisi ke-66. Meskipun konfigurasi yang dibuat oleh Global Economic Forum ini
lebih merupakan kuantifikasi dari aspek ekonomi dan bersifat relatif, tetapi
secara umum prestasi tersebut juga merefleksikan kualitas dunia pendidikan
kita. Dari sudut persepsi publik terhadap korupsi tahun 2002, hasil survei yang
dilakukan oleh Transparency International dan Universitas Göttingen menempatkan
Indonesia pada urutan ke-122. Indonesia berada di bawah India yang menempati
posisi ke-83, Filipina pada posisi ke- 92, dan Vietnam pada posisi ke-100.
Mengingat
sikap dan watak merupakan hasil pembinaan pendidikan, dunia pendidikan kita
bisa dianggap ‘liable’ terhadap perilaku korup. Implikasi indikator ini
terhadap dunia pendidikan kita secara umum ialah proses pendidikan kita belum
mampu—secara signifikan—menghasilkan lulusan yang bersih, jujur dan amanah.
Sedangkan menurut indikator pengembangan SDM tahun 2002, Indonesia menempati
posisi ke-112 dari 174 negara.
Data
tersebut menempatkan Indonesia di bawah Filipina yang berada pada posisi ke-85,
China pada urutan ke-104, dan Vietnam pada posisi ke-109. Jika dari segi
ekonomi kita—diakui secara jujur—belum siap bersaing, apalagi dalam dunia
pendidikan secara umum. Salah satu bukti ketidaksiapan SDM kita bersaing secara
global adalah level jabatan TKI kita di luar negeri rata-rata pekerja kasar,
hanya sebagian kecil sebagai pekerja profesional, dan lebih sedikit lagi pada
level pimpinan. Hal tersebut berbanding terbalik dengan TKA (expatriates) yang
bekerja di Indonesia yang mayoria menempati level profesional dan pimpinan.
III. Kondisi dan Kendala Kontemporer Dunia Pendidikan
Indonesia
Berbicara
masalah pendidikan di Indonesia adalah membahas hal yang sangat luas, dinamis,
fluktuatif dan relatif. Oleh karena itu, kita hanya bisa mengatakan bahwa
pendidikan di Indonesia ‘gagal’ secara kategoris. Sebenarnya pendidikan
Indonesia telah banyak menghasilkan tokoh-tokoh nasional dan output yang
brilyan dan kompetitif dari masa ke masa. Kalau digeneralisasi bahwa dunia
pendidikan kita sudah gagal, maka Republik ini sudah lama bubar. Salah satu
contoh keberhasilan pendidikan kita misalnya adalah menjamurnya sekolah-sekolah
yang ‘berprestasi’ khususnya pada jenjang Sekolah Menengah yang dalam periode
1996-1997 sering dikenal sebagai SMU (sekarang kembali ke istilah Sekolah
Menengah Atas atau SMA) ‘unggulan’ atau SMU ‘plus.’
Dari
studi Pusat Penelitian Kebijakan, Balitbang Depdiknas terhadap 12 SMU yang
dinilai berprestasi yang tersebar di beberapa propinsi di Indonesia, prestasi
yang dicapai oleh sekolah berprestasi ini cukup melegakan. Indikator pertama,
NEM SMU berprestasi setiap tahunnya berada pada peringkat 1, 2, atau 3 di
tingkat propinsi lokasi sekolah bersangkutan. NEM terentang dari 47,99 sampai
64,27. Sekitar 81,2% rata-rata NEM siswa SLTP (sekarang kembali ke istilah
Sekolah Menengah Pertama atau SMP) yang diterima di SMU berprestasi adalah 6,5
keatas. Kedua, sebagian besar guru SMU berprestasi memiliki pendidikan S1,
hanya beberapa SMU yang memiliki beberapa guru jenjang S2, Sarjana Muda atau
D3, bahkan SMU. Ketiga, kebanyakan SMU berprestasi memiliki sarana dan
prasarana yang baik, yakni tanah yang cukup luas, tempat parkir, lapangan olah
raga, tempat bermain atau jenis kegiatan lainnya, ruang kelas, laboratorium,
perpustakaan, ruang kepala sekolah, ruang guru, ruang TU, alat bantu pelajaran
Fisika, Biologi, Matematika serta berbagai peralatan elektronik seperti video,
TV, tape-recorder, sound system dalam lab bahasa, perangkat komputer sebagai
media belajar. Keempat, seluruh guru SMU berprestasi menyusun satuan pelajaran.
Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar meliputi: intra dan ekstra kurikuler.
Guru umumnya menyampaikan materi dengan metode yang bervariasi meliputi:
ceramah, tanya-jawab, diskusi, simulasi, resitasi, tugas membaca di
perpustakaan, praktikum di laboratorium, dan pemanfaatan media belajar lainnya.
IV. Keadaan
Buruk Pendidikan di Indonesia
A.
Paradigma Pendidikan Nasional
yang Sekular-Materialistik
Diakui atau tidak, sistem pendidikan
yang berjalan di Indonesia saat ini adalah sistem pendidikan yang
sekular-materialstik. Hal ini dapat terlihat antara lain pada UU Sisdiknas No.
20 tahun 2003 Bab VI tentang jalur, jenjang, dan jenis pendidikan bagian kesatu
(umum) pasal 15 yang berbunyi : Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum,
kejuruan, akademik, profesi, advokasi, kagamaan, dan khusus dari pasal ini
tampak jelas adanya dikotomi pendidikan, yaitu pendidikan agama dan pendidikan
umum. Sistem pendidikan dikotomis semacam ini terbukti telah gagal melahirkan
manusia yang sholeh yang berkepribadian sekaligus mampu menjawab tantangan
perkembangan melalui penguasaan sains dan teknologi. Secara kelembagaan,
sekularisasi pendidikan tampak pada pendidikan agama melalui madrasah,
institusi agama, dan pesantren yang dikelola oleh Departemen Agama; sementara
pendidikan umum melalui sekolah dasar, sekolah menengah, kejurusan serta
perguruan tinggi umum dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional. Terdapat
kesan yang sangat kuat bahwa pengembangan ilmu-ilmu kehidupan (iptek) dilakukan
oleh Depdiknas dan dipandang sebagai tidak berhubungan dengan agama.
Pembentukan karakter siswa yang merupakan bagian terpenting dari proses
pendidikan justru kurang tergarap secara serius. Agama ditempatkan sekadar
salah satu aspek yang perannya sangat minimal, bukan menjadi landasan seluruh
aspek.
Pendidikan yang
sekular-materialistik ini memang bisa melahirkan orang yang menguasai
sains-teknologi melalui pendidikan umum yang diikutinya. Akan tetapi,
pendidikan semacam itu terbukti gagal membentuk kepribadian peserta didik dan
penguasaan ilmu agama. Banyak lulusan pendidikan umum yang ‘buta agama’ dan
rapuh kepribadiannya. Sebaliknya, mereka yang belajar di lingkungan pendidikan
agama memang menguasai ilmu agama dan kepribadiannya pun bagus, tetapi buta
dari segi sains dan teknologi. Sehingga, sektor-sektor modern diisi orang-orang
awam. Sedang yang mengerti agama membuat dunianya sendiri, karena tidak mampu
terjun ke sektor modern.
B.
Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal, itulah
kalimat yang sering terlontar di kalangan masyarakat. Mereka menganggap begitu
mahalnya biaya untuk mengenyam pendidikan yang bermutu. Mahalnya biaya
pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) sampai Perguruan Tinggi membuat
masyarakat miskin memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Makin
mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah
yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah), dimana di Indonesia dimaknai
sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, komite sekolah yang
merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha. Asumsinya,
pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah komite
sekolah terbentuk, segala pungutan disodorkan kepada wali murid sesuai
keputusan komite sekolah. Namun dalam penggunaan dana, tidak transparan. Karena
komite sekolah adalah orang-orang dekat kepada sekolah.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan
adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status
pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi
ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu pemerintah secara
mudah dapat melempar tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik
badan hukum yang sosoknya tidak jelas.
Privatisasi atau semakin melemahnya
peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan
kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia
sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong
privatisasi pendidikan. Akibatnya, sector yang menyerap pendanaan besar seperti
pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen
(Kompas, 10/5/2005).
Koordinator LSM Education network
foa Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan
privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersalialisasi
pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke
pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan
sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya
setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses
rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi
dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara kaya
dan miskin.
Pendidikan berkualitas memang tidak
mungkin murah, tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya?.
Kewajiban Pemerintahlah untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan
dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan
tetapi, kenyataan Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal
keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk ‘cuci tangan’.
Fandi
achmad (Jawa Pos, 2/6/2007) menjelaskan sebagai berikut :
Mencermati konteks
pendidikan dalam praktik seperti itu, tujuan pendidikan menjadi bergeser.
Awalnya, pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan tidak
membeda-bedakan kelas sosial. Pendidikan adalah untuk semua. Namun, pendidikan
kemudian menjadi perdagangan bebas (free trade). Tesis akhirnya, bila
sekolah selalu mengadakan drama tahun ajaran masuk sekolah dengan bentuk
pendidikan diskriminatif sedemikian itu, pendidikan justru tidak bisa
mencerdaskan bangsa. Ia diperalat untuk mengeruk habis uang rakyat demi
kepentingan pribadi maupun golongan.
C.
Kualitas SDM yang Rendah
Akibat paradigma pendidikan nasional
yang sekular-materialistik, kualitas kepribadian anak didik di Indonesia
semakin memprihatinkan. Dari sisi keahlian pun sangat jauh jika dibandingkan
dengan Negara lain. Jika dibandingkan dengan India, sebuah Negara dengan
segudang masalah (kemiskinan, kurang gizi, pendidikan yang rendah), ternyata
kualitas SDM Indonesia sangat jauh tertinggal. India dapat menghasilkan
kualitas SDM yang mencengangkan. Jika Indonesia masih dibayang-bayangi
pengusiran dan pemerkosaan tenaga kerja tak terdidik yang dikirim ke luar
negeri, banyak orang India mendapat posisi bergengsi di pasar Internasional.
Di samping kualitas SDM yang
rendah juga disebabkan di beberapa daerah di Indonesia masih kekurangan guru,
dan ini perlu segera diantisipasi. Tabel 1. berikut menjelaskan tentang
kekurangan guru, untuk tingkat TK, SD, SMP dan SMU maupun SMK untuk tahun 2004
dan 2005. Total kita masih membutuhkan sekitar 218.000 guru tambahan, dan ini
menjadi tugas utama dari lembaga pendidikan keguruan.
Dalam menghadapi era
globalisasi, kita tidak hanya membutuhkan sumber daya manusia dengan latar
belakang pendidikan formal yang baik, tetapi juga diperlukan sumber daya
manusia yang mempunyai latar belakang pendidikan non formal.
V. Penyesuaian Pendidikan Indonesia di Era
Globalisasi
Dari beberapa takaran dan
ukuran dunia pendidikan kita belum siap menghadapi globalisasi. Belum siap
tidak berarti bangsa kita akan hanyut begitu saja dalam arus global tersebut.
Kita harus menyadari bahwa Indonesia masih dalam masa transisi dan memiliki
potensi yang sangat besar untuk memainkan peran dalam globalisasi khususnya
pada konteks regional. Inilah salah satu tantangan dunia pendidikan kita yaitu
menghasilkan SDM yang kompetitif dan tangguh. Kedua, dunia pendidikan kita
menghadapi banyak kendala dan tantangan. Namun dari uraian di atas, kita
optimis bahwa masih ada peluang.
Ketiga, alternatif yang
ditawarkan di sini adalah penguatan fungsi keluarga dalam pendidikan anak
dengan penekanan pada pendidikan informal sebagai bagian dari pendidikan formal
anak di sekolah. Kesadaran yang tumbuh bahwa keluarga memainkan peranan yang
sangat penting dalam pendidikan anak akan membuat kita lebih hati-hati untuk
tidak mudah melemparkan kesalahan dunia pendidikan nasional kepada otoritas
dan sektor-sektor lain dalam masyarakat, karena mendidik itu ternyata tidak
mudah dan harus lintas sektoral. Semakin besar kuantitas individu dan keluarga
yang menyadari urgensi peranan keluarga ini, kemudian mereka membentuk jaringan
yang lebih luas untuk membangun sinergi, maka semakin cepat tumbuhnya kesadaran
kompetitif di tengah-tengah bangsa kita sehingga mampu bersaing di atas
gelombang globalisasi ini.
Yang dibutuhkan Indonesia
sekarang ini adalah visioning (pandangan),
repositioning strategy (strategi)
, dan leadership (kepemimpinan).
Tanpa itu semua, kita tidak akan pernah beranjak dari transformasi yang terus
berputar-putar. Dengan visi jelas, tahapan-tahapan yang juga jelas, dan
komitmen semua pihak serta kepemimpinan yang kuat untuk mencapai itu, tahun
2020 bukan tidak mungkin Indonesia juga bisa bangkit kembali menjadi bangsa
yang lebih bermartabat dan jaya sebagai pemenang dalam globalisasi.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Sejalan
dengan pembahasan yang secara panjang lebar dipaparkan dalam bab II, maka
penulisan ini mempunyai simpulan sebagai berikut :
1. Memahami globalisasi dengan melihat lima kategori pengertian globalisasi yang umum ditemukan dalam literatur.Kelima kategori definisi tersebut berkaitan satu sama lain dan kadangkala saling tumpang-tindih, namun masing-masing mengandung unsur yang khas.
1). Globalisasi sebagai internasionalisasi
2). Globalisasi
sebagai liberalisasi
3). Globalisasi
sebagai universalisasi
4). Globalisasi
sebagai westernisasi atau modernisasi
5). Globalisasi
sebagai penghapusan batas-batas territorial
Dan dampak globalisasi terhadap dunia pendidikan terlihat dalam 3 perubahan mendasar dalam dunia pendidikan Pertama, dalam perspektif neo-liberalisme, globalisasi menjadikan pendidikan sebagai komoditas dan komersil. Kedua, globalisasi mempengaruhi kontrol pendidikan oleh negara. Ketiga, globalisasi mendorong delokalisasi dan perubahan teknologi dan orientasi pendidikan.
2. Pendidikan Indonesia menghadapi globalisasi belum siap karena Indonesia menempati posisi ke-112 dari 174 negara. Salah satu bukti ketidaksiapan SDM kita bersaing secara global adalah level jabatan TKI kita di luar negeri rata-rata pekerja kasar, hanya sebagian kecil sebagai pekerja profesional, dan lebih sedikit lagi pada level pimpinan. Hal tersebut berbanding terbalik dengan TKA (expatriates) yang bekerja di Indonesia yang mayoria menempati level profesional dan pimpinan.
3. Kondisi dan kendala kontemporer dunia pendidikan Indonesia sudah gagal, maka Republik ini sudah lama bubar. Salah satu contoh keberhasilan pendidikan kita misalnya adalah menjamurnya sekolah-sekolah yang ‘berprestasi’ khususnya pada jenjang Sekolah Menengah yang dalam periode 1996-1997 sering dikenal sebagai SMU (sekarang kembali ke istilah Sekolah Menengah Atas atau SMA) ‘unggulan’ atau SMU ‘plus.’
4. Kemajuan teknologi
akibat pesatnya arus globalisasi, merubah pola pengajaran pada dunia
pendidikan. Pengajaran yang bersifat klasikal berubah menjadi pengajaran yang
berbasis teknologi baru seperti internet dan computer. Perubahan
Corak Pendidikan, mulai
longgarnya kekuatan kontrol pendidikan oleh negara. Tuntutan untuk berkompetisi
dan tekanan institusi global, seperti IMF dan World Bank, mau atau tidak,
membuat dunia politik dan pembuat kebijakan harus berkompromi untuk melakukan
perubahan.
5. Era globalisasi
mengancam kemurnian dalam pendidikan. Banyak didirikan sekolah-sekolah dengan
tujuan utama sebagai media bisnis. John Micklethwait menggambarkan sebuah kisah
tentang pesaingan bisnis yang mulai merambah dunia pendidikan dalam bukunya
“Masa Depan Sempurna” bahwa tibanya perusahaan pendidikan menandai pendekatan
kembali ke masa depan. Penyebab
buruknya pendidikan di era globalisasi di indonesia adalah Mahalnya Biaya Pendidikan, Kualitas SDM yang Rendah dan fasilitas pendidikan ang kurang, itu yang
mengakibatkan pendidikan tidak berjalan dengan lancer.
6. Yang dibutuhkan Indonesia
sekarang ini adalah visioning (pandangan),
repositioning strategy (strategi)
, dan leadership (kepemimpinan).
Tanpa itu semua, kita tidak akan pernah beranjak dari transformasi yang terus
berputar-putar. Dengan visi jelas, tahapan-tahapan yang juga jelas, dan
komitmen semua pihak serta kepemimpinan yang kuat untuk mencapai itu
2. Saran
Pendidikan di Indonesia diharapkan dapat mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang memiliki komitmen kuat dan konsisten untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sebagus apa pun konsep perubahan kurikulum, tanpa diimbangi dengan optimalnya peran stakeholder pendidikan, hal itu tidak akan banyak membawa dampak positif bagi kemajuan peradaban bangsa. Sudah terlalu lama bangsa ini merindukan lahirnya generasi bangsa yang “utuh dan paripurna”; berimtaq tinggi, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Hanya potret generasi semacam ini yang akan mampu membawa bangsa ini sanggup bersaing di tengah kancah peradaban global yang demikian kompetitif secara arif, matang, dan dewasa. Nah, akankah perubahan kurikulum di awal tahun ajaran ini mampu menjadi momentum bangkitnya kemajuan dunia pendidikan di negeri kita.
DAFTAR PUSTAKA
1 komentar:
MAKASIH
Posting Komentar